NASIKH DAN MANSUKH


PEMBAHASAN
Nasikh & Mansukh 
A. Pengertian naskh
Secara etimologi naskh sendiri berasal dari bahasa Arab النسخ (an-Naskh) yang berarti menghilangkan. Muhammad Ma’shum Zein dalam kitabnya yang dikutip dari pendapat Wahbah Zuhaily mengatakan bahwa naskh berarti النقل (an-Naql) yang berarti  memindahkan, sedangkan dari pendapat yang ia kutip dari ‘Abd al-Hamiid mengatakan bahwa naskh berarti  التبديل(at-Tabdiil) dan  الازالة(al-Izaalah) yang berarti menghapus.
Sedangkan secara terminologi, naskh difahami sebagai berikut :
النسخ هوالخطاب الدال على رفع الحكم الثابت بالخطاب المتقدم على جهة لولاه لكان ثابتا مع تراخيه عنه
“naskh yaitu khitab Allah yang menunjukkan pengangkatan hukum yang ditetapkan lebih dahulu oleh hukum yang datang kemudian dengan gambaran bahwa seandainya tidak ada khitab kedua pasti hukum akan tetap berlaku, disertai dengan perselangan daiantara keduanya”
Atau secara sederhana naskh dapat difahami dengan :
النسخ هو رفع الحكم الشرعى بدليل شرعى متأخّر
“naskh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan suatu dalil yang datang kemudian”.
Sementara itu, pengertian naskh menurut ulama Salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global saja, dan ini merupakan istilah ulama Muta’akhkhiriin, atau pembatalan dalaalah (aspek dalil). Kemudian, di dalam naasikh dan mansuukh haruslah terdapat beberapa unsur seperti yang diungkapakan oleh ‘Abd al-Hamiid yang dikutip Muhammad Ma’shuum Zein berikut :
  • Naasikh, yaitu adanya pernyataan (khithab kedua) yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang sudah ada sebelumnya (khithab pertama),
  • Dalil  naskh, yaitu dalil yang kemudian menghapus hukum yang sudah ada,
  • Mansuukh, yaitu hukum yang dibatalkan atau dihapus,
  • Mansuukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
Salah satu corak dari keberagaman hukum Islam adalah terdapatnya pemberlakuan naskh suatu nash atau dalil tertentu. Umat Islam sejak datangnya Islam itu sendiri sudah banyak mengkonsumsi berbagai landasan syari’at. Namun dalam perjalanannya Syari’at yang diberlakukan oleh Islam tidak serta merta mutlak keberadaannya. Islam mampu menyajikan berbagai upaya dan langkah-langkah pemberlakuan hukum dari yang sederhana hingga pada tingkatan yang memang pantas untuk diterima sesuai kadar masyarakat yang ada. Oleh karenanya hukum yang diberlakukan di masa manusia mengalami sosio-kultur yang berbeda, biasanya terdapat tahapan untuk menghilangkan hukum yang sedang berlaku dengan hukum baru dari Sang Pembuat Hukum agar kehidupan manusia semakin teratur, harmonis dan tenteram. Karena tujuan dari adanya hukum adalah untuk mensejahterakan pola hidup masyarakat dengan mengakomodir batasan-batasan ruang lingkup yang diatur sedemikian rupa sehingga masyarakat mampu merasakan sejahteranya hidup dalam naungan syari’at Islam.
Jadi, jelaslah bahwasannya sebab terjadinya naskh berdasar pada kebutuhan dalam sebuah hukum kepada alat untuk meralat hukum lama yang diganti dengan hukum baru yang lebih relevan dalam kemashlahatan umat.

B.     Syarat-syarat dan klasifikasi Naasikh dan Mansuukh
Adapun syarat-syarat dalam naasikh adalah sebagai berikut :
1.      Naasikh harus terpisah dari mansukh. Dalam hal ini dalil yang menaskh dan yang dinaskh bukan merupakan suatu kesatuan, maksudnya diantara keduanya terdapat pemisah, baik itu ‘illat ataupun latar belakang dalil yang menunjukkan suatu hukum.
2.      Naasikh datang setelah mansukh. Secara otomatis bahwasannya suatu dalil yang mengganti dalil lain haruslah berada pada akhir, yaitu datangnya setelah dalil hukum awal itu ada.
3.      Naasikh harus berupa hukum syara’.  Sedangkan dalam beberapa hal yang bukan merupakan hukum syara’, tidak bisa dikatakan naasikh-mansukh seperti adanya pagi yang dinasakh oleh siang.
4.      Pembatalan itu datangnya dari Syaari’. Karena tidak ada Sang Pemilik Otoritas yang berkuasa menentukan hukum kecuali pembuat Syara’ yaitu Allah yang diantarkan melalui wahyu baik berupa al-Quran maupun al-Hadits.
Kemudian syara-syarat mansuukh sebagaimana yang diuraikan oleh Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Ushuul al-Fiqh al-Islaamy yang dikutip oleh Muhammad Ma’shum Zein adalah :
1.      Mansukh tidak dibatasi oleh waktu. Contohnya adalah hukum kebolehan makan dan minum di malam hari pada bulan Ramadhan, kebolehan ini hanya dibatasi sampai terbitnya fajar, jika fajar sudah terbit maka kebolehan itu hilang dengan sendirinya. Sebagaimana tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 187,
2.      Mansuukh harus berupa hukum syar’i, sebab yang bisa menghapus mansukh hanyalah hukum syar’i.
Sementara klasifikasi Naskh ditinjau dari objek dan keadaan adalah sebagai berikut :
a)      Klasifikasi menurut obyek naasikh dan mansukh
1.      Naskh ar-Rasm wa Baqa’ al-Hukm
الشيخ والشيخة إذا زانيا فارجموهما ألبتة نكالا من الله والله عزيز حكيم
Hukum rajam pada ayat tersebut dinaskh dengan dalil Nabi yang menunjukkan bahwa yang dirajam adalah orang yang zina muhshaan.
2.      Naskh al-Hukm wa Baqa’ al-Rasm
والذين يتوفّون منكم و يذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول ........
Surah al-Baqarah ayat 240 diatas dinaskh oleh  QS. al-Baqarah : 234 yaitu:
والذين يتوفّون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر و عشرا .........
3.      Naskh al-Amrain ma’an
Haram hukumnya menikahi saudara sesusuan dengan batasan 10 kali menjadi 5 kali hisapan.
4.      Naskh al-Hukm, tetapi obyek hukum yang digantinya beralih pada hukum lain
Contohnya perpindahan arah qiblat dari masjid al-Aqshaa ke masjid al-Haram dalam  QS. al-Baqarah : 144 :
.... فولّ وجهك شطر المسجد الحرام .....
5.      Naskh hukum yang gantinya ada
Seperti kewajiban shalat 50 waktu menjadi 5 waktu.
6.      Naskh hukum yang gantinya tidak ada
Contohnya dalam firman Allah swt dalam QS. Al-Mujaadalah : 12 berikut :
.... إذا ناجيتم الرسول فقدّموا بين يدي نجوىكم صدقة ....
“....Jika kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada kaum miskin) sebelum pembicaraan itu terjadi....”
7.      Naskh hukum, tetapi hukum yang ada pada penggantinya lebih ringan
Sebagai contoh, awalnya 20 orang muslim yang ikut berperang harus berani menghadapi 200 orang kafir, sehingga satu orang muslim harus menghadapi 20 orang kafir, yaitu dalam QS. al-Anfaal : 65. Kemudian ayat tersebut dinaskh dengan meringankan yaitu 100 orang muslim menghadapi 200 orang kafir dengan dasar ayat ke-66.

b)      Klasifikasi menurut keadaan naasikh dan mansuukh
1.      Naskh al-Quran dengan al-Quran
2.      Naskh as-Sunnah al-Mutawattir dengan dengan al-Quran
Yang dimaksud adalah hadits mutawattir dinaskh dengan ayat al-Quran, seperti hadist mutawattir tentang shalat menghadap Bait al-Maqdiis yang dinaskh dengan ayat al-Quran فولّ وجهك شطر المسجد الحرام ... 
3.      Naskh as-Sunnah dengan as-Sunnah
Contohnya pada sebuah hadits :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا فزوروها ....
C.    Macam-macam Naskh
Sementara macam-macam Naskh adalah sebagai berikut :
a.      Naskh Shariih
Naskh sharih ialah Syaari’ menyebutkan dengan jelas dalam tasyri’an yang menyusul terhadap pembatalan penetapan hukumnya yang terdahulu misalnya dalam sabda Rasulullah SAW:
ﺓﺮﺧلأﺍ ﻢﻛﺮﻛﺬﺗ ﺎﻬﻧﺎﻓ ﺎﻫﻭﺭوﺰﻓألا ﺮوﺒﻘﻟﺍ ﺓﺭﺎﻳﺯ ﻦﻋ ﻢﻜﺘﻴﻬﻧ ﺖﻨﻛ
Artinya : “Aku pernah melarang kamu berziarah kubur, ingatlah, ziarahlah ke kubur karena sesungguhnya ziarah kubur mengingatkan kamu akan kehidupan akhirat”
b.      Naskh Dhimni
Adapun naskh dhimni adalah Syaari’ tidak menyebutkan secara terang-terangan dalam pensyariatannya yang menyusul terhadap pembatalan pensyariatannya yang terdahulu, akan tetapi Dia mensyariatkan hukum baru yang bertentangan dengan hukum-Nya yang terdahulu, padahal tidak mungkin mensitesakan antar kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari keduanya, sehingga nash yang menyusul dianggap menaskh terhadap yang terdahulu secara kandungannya (dhimni).
Naskh dhimni ini banyak terdapat dalam penetapan hukum Ilahi. Misalnya, firman Allah SWT yang artinya “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwashiat untuk ibu-apak dan karib-kerabatnya secara ma’ruf“. (QS. al-Baqarah: 180). Ayat tersebut menunjukkan bahwa apabila seorang yang memiliki harta yang banyak kedatangan tanda-tanda kematian, maka wajib berwasiat untuk kedua orang-tuanya dan para kerabatnya terhadap harta peninggalannya dengan cara yang ma’ruf.
c.       Naskh Kulli
Adapun naskh kulli adalah pembuat hukum membatalkan hukum yang disyariatkan sebelumnya dengan suatu pembatalan secara kulli (keseluruhan) dalam kaiatannya dengan setiap individu para mukallaf, sebagaimana ia membatalkan pewajiban washiat kepada orang tua dan kepada kerabat dengan disyariatkannya hukum warisan dan menghalang-halangi pemberian washiat kepada ahli waris, dan sebagaimana ia membatalkkan ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama satu tahun dengan ‘iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Allah SWT berfirman “orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri (hendaklah) berwashiat kepada istri-istrinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...” (QS. al-Baqarah: 240). Kemudian Allah berfirman “orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari “[12] .
d.      Naskh Juz’i
Naskh juz’i yaitu Pembuat Hukum mensyari’atkan hukum secara umum yang meliputi setiap perseorangan dari mukallaf, kemudian dia membatalkan hukum ini dalam kaitannya dengan sebagian individu atau Pembuat hukum mensyariatkan hukum secara mutlak, lantas membatalkan untuk sebagian kondisi. Nash yang menaskh tidak membatalkan pemberlakuan hukum yang pertama sama sekali, akan tetapi ia membatalkan dalam kaitannya dengan sebagian kondisi. Contohnya adalah firman Allah SWT yang Artinya “Dan orang-orang yang menuduh perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali…” (QS. an-Nuur: 4) Firman ini menunjukkan bahwa orang yang menuduh zina wanita baik-baik, dan tidak dapat menunjukkan buktinya maka orang tersebut didera hukuman delapan puluh kali deraan, baik penuduhnya itu adalah suaminya ataupun orang lain. Dan firman Allah SWT yang lain yang artinya  “Dan orang-orang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri maka persaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar,” (QS an-Nuur: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa jika penuduh zina itu adalah suaminya sendiri, maka ia tidak dihukum dera, akan tetapi ia dan istrinya saling bersumpah li’an. Jadi nash yang kedua menaskh hukum tuduhan zina dalam kaitannya dengan para suami.
Suatu Naskh dikatakan sebagai naskh juz’i jika pada pertama kalinya pembuat hukum mensyariatkan hukum nash yang umum atas dasar ke-umumannya atau nash yang mutlak sesuai dengan kemutlakannya, kemudian sesudah itu dengan masa tenggang ia mensyariatkan hukum bagi sebagian satuan-satuanya, atau dibatasi suatu batasan.


sumber : Abdulwaly Cece, dkk. 2013. Ushul Fiqh Nasikh Mansukh. Bandung. http://ceceabdulwaly.blogspot.com













0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / AROUND

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger