Lirik QOD KAFANI dan ARTINYA


قَدْ كَفَانِي عِلْمُ رَبِّي
Cukup bagiku pengetahuan Tuhanku
 مِنْ سُؤَالِي وَاخْتِيَارِي
Daripada permintaan dan usahaku
 فَدُعَـائِي وابْتِهـَالِي
Doa serta permohonanku
 شَـاهِدٌ لِي بِافْتِقَارِي
Sebagai bukti pada kefakiranku
 فَلِهَذَا السِّرِّ أَدْعُـو
Oleh kerana rahasia itu aku berdoa
 فِي يَسَارِيْ وَعَسَارِي
Pada saat aku senang dan susah
 أَنَا عَبْدٌ صَارَ فَخْرِي
Aku adalah hamba, menjadi kebanggaanku
  ضِمْنَ فَقْرِي وَاضْطِرَارِي
Dalam kefakiran dan keperluanku
 يَا إِلَـهِي وَمَلِيْـكِي
Wahai tuhanku, yang memiliki aku
 أنْتَ تَعْلَم كَيْفَ حَالِي
Kau Maha tahu akan keadaanku
 وَبِمَا قَدْ حَـلَّ قَلْبِـي
Dan apa yang berada dalam hatiku
 مِنْ هُمُوْمٍ وَاشْتِغَالِـي
Dari kesedihan dan kesibukanku
 فَتَـدَارَكْنِي بِلُطْفٍ
Maka tolonglah aku dengan kelembutan
 مِنْكَ يَا مَوْلَى الْمَوَالِي
Dari-Mu Wahai Tuhan seluruh hamba
 يَا كَرِيْمَ الْوَجْهِ غِثْنِي
Wahai yang Maha Pemurah tolonglah hamba
 قَبْلَ أنْ يَفْنَى اصْطِبَارِي
Sebelum lenyap kesabaran hamba
 يَا سَرِيْعَ الْغَوْثِ غَوْثًا
Wahai pemberi pertolongan dengan segera
 مِنْكَ يُدْرِكْنَا سَرِيْعًا
Berilah kami dengan segera pertolongan-Mu
 يَهْزِمُ الْعُسْرَ وَيَأْتِي
Yang dapat menghilangkan kesulitan dan dapat mendatangkan
 بِالَّذِي نَرْجُو جَمِيْـعًا
Dengan apa-apa yang kami harapkan semua
 يا قَرِيْـبًا يا مُجِيْـبًا
Wahai yang Maha dekat, dan menjawab
 يا عَلِيْمًا يا سَمِيْـعًا
Wahai yang Maha mengetahui dan mendengar
 قَدْ تَحَقَّقْتُ بِعَجْزِي
Aku mengaku akan kelemahanku
 وخُضُوْعِي وانْكِسَارِي
Dan ketaatan serta kesedihanku
 لَمْ أَزَلْ بِالْبَابِ وَاقِفْ
Aku sentiasa menunggu di hadapan pintu rahmat-Mu
 فَارْحَمَنْ ربِّي وُقُوْفِي
Wahai Tuhanku berikanlah rahmat padaku
 وبِوَادِي الْفَضْلِ عَاكِفْ
Pada lembah kurnia-Mu aku berada
 فَأَدِمْ ربِّي عُكُـوْفِي
Wahai Tuhanku tetapkanlah keberadaanku disana
 ولِحُسْنِ الظَّنِّ لاَزِم
Aku sentiasa mempunyai prasangka baik
 فَهُوَ خِلِّي وحَلِيْفِي
Ia (prasangka baik) adalah teman dan kawanku
 وأَنِيْسِي وجَلِيْسِي
Juga penyenang bagiku dan yang setia bersamaku
 طُوْلَ لَيْلِي ونَهَارِي
Sepanjang malam dan siangku
 حَاجَةً فِي النَّفْسِ يَا ربّ
Wahai Tuhanku, dalam jiwa ini terdapat hajat
 فَاقْضِهَا يا خَيْرَ قَاضِي
Tunaikanlah Wahai yang Maha Menunaikan
 وأَرِحْ سِرِّي وقَلْبِي
Tenteramkanlah rahsia dan hatiku
 مِنْ لَظاَهَا والشُّوَاظِ
Dari kebimbangan dan pergolakannya
 فَالْهَنَا والْبَسْطُ حَالِي
 Sungguh aku akan berada dalam ketenteraman dan ketenangan
 وشِعَارِي ودِثَارِي
Dan juga (ketenteraman dan ketenangan) menjadi pakaianku

'Amm dan Khash


PEMBAHASAN
‘AMM DAN KHASH
A.    ‘Am (umum)
a.      Pengertian ‘am
Lafadz al-‘Am, berarti “umum”, ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[1] Atau juga lafadz yang menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan semuanya itu berlaku untuk semua ifradnya.[2] Para  ulama Usul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai berikut:
1. Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara lafadz maupu nmakna.(Al-Bazdawi:I:33)
2. Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali adalah satu lafadz yang  dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
3. Menurut Albazdawi adalah lafadz yang mencakup semua yang  cocok untuk lafadz tersebut dengan satu kata.
b.      Macam-macam bentuk kata ‘am
Untuk menunjukkan baha kata itu mencakup sesuatu yang tidak terbatas (‘am), biasanya digunakan kata-kata sebagai berikut:
ü  كُلٌّ, جَمِيْعٌ, كافّة, مَعْشَرٌ  (semuanya), misalnya :
...ۗالْمَوْتِ ذَائِقَةُ نَفْسٍ كُلُّ
Artinya : Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Ali Imron/3 : 185)
...وَالْإِنْسِ الْجِنِّ مَعْشَرَ يَا
Arinya : Wahai golongan jin dan manusia!... (QS. Al An’am/6: 130)
ü  Isim Mufrod yang ditakrifkan dengan alif lam jinsiyah, misalnya :
الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللهُ وَأَحَلَّ
Artinya : “... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’...” (QS. Al Baqarah/2: 275)
Kata al-Bai’u (jual beli) dan ar-Riba’ (riba), menunjukkan makna umum karena berupa isim mufrod ma’rifat dengan “al-jinsiyyah”.
ü  Jama’ yang ditakrifkan dengan idafah, misalnya :
ۖأَوْلَادِكُمْ فِي اللَّهُ يُوصِيكُمُ
Artinya : Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. (QS. An Nisa’/4: 11)
Kata “aulaad” adalah bentuk jama’ yang di-idhofah-kan dengan kata “kum”, sehingga menjadi ma’rifat. Oleh karena itu kata tersebut dikategorikan kata ‘am.


ü  Isim-isim maushul seperti الذي, الذين, التي, dll, misalnya :
ۖعَشْرًا وَشْهُرٍأَ أَرْبَعَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ أَزْوَاجًا وَيَذَرُونَ مِنْكُمْ يُتَوَفَّوْنَ وَالَّذِينَ
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.
(QS. Al Baqarah/2: 234)
ü  Isim-isim syarat seperti ”man” (barang siapa), “maa”(apa saja), “ayyuma” (yang mana saja), misalnya :
ۚكَثِيرَةً أَضْعَافًا لَهُ فَيُضَاعِفَهُ حَسَنًا قَرْضًا اللَّهَ يُقْرِضُ الَّذِي ذَا مَنْ
Artinya : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (QS. Al Baqarah/2: 245)
c.       Macam-macam ‘Amm
Ditetapkan dengan ketetapan nash bahwa ‘amm itu terbagi menjadi tiga:[3]
Pertama adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi’ umum. Yaitu ‘amm yang  didampingi oleh qarinah (indikasi), menafikan sasaran yang ditakhsiskan, seperti ‘amm yang  terdapat pada firman Allah Swt :
وما من دابة فى الارض الا على الله رزقها
“Dan tidak satupun binatang yang  melata dibumi ini melainkan Allah memberi rizqinya.” (QS.11:6).
وجعلنامن اماء كل شيء حي
“Daripada air kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS.21:30)
Pada kedua ayat ini orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatulloh ada ‘amm yang tidak ditakhsiskan dan tidak pula dipertukarkan letaknya. Pada kedua ayat ini terdapat ‘amm qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak mengandung hal yang dimaksud khusus dengannya.
Kedua adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi khusus.Yaitu apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu. Seperti firman Allah yang berbunyi:
ولله على الناس حج البيت
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS.3:97).
Manusia pada nash ini adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut akal, tidak termasuk anak-anak dan orang gila.
Ketiga adalah ‘amm makhsus. Yaitu ‘amm mutlak yang  tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang  menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya kebanyakan nash yang  terdapat padanya  sighat umum. Terlepas dari qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau arfiah yang  menyatakan umum, sebelum dikemukakan dalil yang mentakhsiskannya. Misalnya, perempuan-perempuan yang  ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
d.      Dilalah Lafadz ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Begitu juga lafadz ‘amm yang  disertai qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.[4]
Menurut Hanafiyah, dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis,maka dilalahnya dzanni.
Mereka beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila dipasangkan (di-wadha’-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah,Syafi’iyyah, dan Hanbaliyah) dilalah ‘amm adalah dzanni. Mereka beralasan kalau dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dahir yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm banyak sekali. Selama  kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. Sehubungan dengan hal ini, ibnu Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada taksisnya, kecuali firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu”.
Oleh karena itu mereka mengeluarkan satu kaidah yang berbunyi:
مامن عام الا وقد خصص
“Tidaklah ada (lafadz) yang ‘umum’ kecuali sudah di taksis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur tersebut, menurutnya kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.

B.     Khas (Khusus)
a.      Pengertian Khash
Khash merupakan lawan kata dari  ‘am. Oleh karena itu, jika pengertian ‘am sudah bisa difahami maka khash juga secara langsung sudah bisa difahami. Karena banyak para penulis yang tidak menguraikan ma’na khash secara defenitif.[5]
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash, sebagai berikut:
“Lafadz Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.”[6]

Sedangkan defenisi menurut Al-‘Amidi ialah, sebagai berikut:
"هو اللفظ الواحد الذي لا يصلح لاشتراك كثير ين فيه"
Satu lafadz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
Definisi yang berbeda yang dirumuskan al-Khudhari Beik:  
"هو اللفظ الذي وضع لمعنى واحد على سبيل الانفراد"
Lafadz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.[7]
Menurut defenisi yang dirumuskan oleh al-khudhari itu sama dengan murod pengertian dari Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf tadi, yakni ditentukan untuk satu satuan perorangan, kelompok , bahkan yang tidak terbatas.[8]
b.      Macam-macam bentuk kata Khas
                Khas ialah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna satuan-satuan tertentu. Khas merupakan kebalikan dari ‘am. Kata-katayang masuk dalam khas misalnya :
ü  Isim nakiroh, seperti bentuk tunggal dari kata “rajulun”, seorang laki-laki, dalam bentuk tasniyah (dua) “rajulaani”, dua orang laki-laki, dan dalam bentuk jamak “rijaalun”, beberapa orang laki-laki saja.
ü  ‘Adat (bilangan), misalnya satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya, atau seseorang yang menunjukkan nama pribadi seseorang.
ü  Kata yang mengandung arti musytarak (artinya tidak hanya satu), dan yang mengandung makna majas dan hakikat. Sebagian ulama berpendapat, kata jenis ini termasuk pulakata yang bermakna khas, karena yang dimaksudkan tetap satu arti. Misalnya, kata qura’ (suci/haid), kata “al-Lamsu” (memegang atau bersetubuh).
c.       Ketentuan Lafadz Khash
1.      Secara umum lafadz Khash hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’, yang menunjukkan secara qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz tersebut ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.[9]
2.      Jika dari lafadz khash terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap arti lain, maka dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
3.      Jika dalam suatu kasus hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain, maka lafadz khash membatasi pemberlakuan ‘am.
4.      Bila ditemukan perbenturan antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang khash mentakhshishkan yang ‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am.[10]

d.       
e.       Contoh Khash dan kedudukan hukumnya
Selama dalam nas syarak tidak ada dalil yang memalingkan dari kata yang mengandung makna khas, maka dalil itu menunjukkan pada dalalah qath’iyyah (dalil yang pasti). Contohnya:
ۗرَجَعْتُمْ إِذَا وَسَبْعَةٍ الْحَجِّ فِي أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ يَجِدْ لَمْ فَمَنْ
Artinya :
“...Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali...”
(QS. Al Baqarah/2: 196)
            Kata “tsalaatsah” adalah khas karena mananya sudah pasti, tidak dapat kurang dan tidak dapat lebih yaitu tiga (hari), sehingga maknanya bersifat qath’iyyah dan hukumnya pun bersifat qath’i (pasti).


[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Uhsul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia,2007), ha. 193
[2]A.Wahab Khallaf,Ilmu Uhsul Fiqih,(Jakarta: Rineka Cipta,1999), hal. 225
[3] A.Wahab Khallaf,Ilmu Uhsul Fiqih,(Jakarta: Rineka Cipta,1999), hal. 231-233
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, op. cit., hal.194-199
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,( Jakarta: Kencana,2009), hal. 86
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 281
[7] Amir Syarifuddin, op.Cit., hal. 87
[8] Ibid., hal. 87
[9] Abdul Wahab Khallaf, loc. Cit.
[10] Amir Syarifuddin, , op. Cit., hal. 89

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / AROUND

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger