Dibalik Puasa Senin Kamis

PUASA SUNNAH
SENIN KAMIS


       Tentu kalian tidak asing lagi dengan puasa sunnah yang satu ini, terutama bagi yang sedang giat-giatnya tirakat. Sebenarnya banyak sekali keutamaan puasa sunnah yang satu ini, berikut kami tuturkan beberapa diantaranya.

RAHASIA PUASA SENIN KAMIS

Rasulullah SAW bersabda ” puasalah engkau, niscaya akan sehat. Sabda beliau diucapkan 15 abad silam, ketika dunia medis kedokteran belum maju dan secanggih sekarang. Dan sabda Rasul itu terbukti kebenarannya.

Puasa membawa manfaat yang banyak, baik secara fisik, akal pikiran dan jiwa diantaranya:

1. Tazkiyatun Nafs (Menyucikan Jiwa)
Yakni menyucikan jiwa dari sifat-sifat dusta, berkata kotor. Bisa saja orang berkata sedang berpuasa padahal barusan saja dia makan dan minum. Orang yang berpuasa berlatih menyingkirkan sifat dusta dan menjunjung kejujuran. Sebenarnya, kejujuran dapat membantu kita meraih kehidupan yang lebih baik di kemudian hari. Bahkan hanya bermodalkan kejujuran saja bisa memulai berbisnis. Pejabat yang jujur tentunya akan lebih amanah. Nah, kejujuran sangatlah sangat penting.
Menyehatkan badan

2. Puasa dapat mengistirahatkan organ pencernaan di tubuh kita. 
Misalkan kita sarapan nasi goreng pada jam 7 pagi. Pada saat menelannya, nasi tersebut masuk melalui pipa eshopagus menuju lambung. Didalam lambung, nasi itu dicerna selama 4 jam sambil sedikit demi sedikit diteruskan ke usus halus. Hal ini terjadi terus menerus sampai lambung kosong. Setelah itu, nasi tadi dicerna oleh usus halus selama 4 jam. Setelah itu, barulah nasi yang sudah berubah wujudnya menjadi molekul diserap sarinya oleh tubuh kita.

Jadi, untuk memproses makanan pencernaan kita butuh 8 jam (akan kosong pada jam 3 sore). Padahal, kita makan siang pada jam 12. Dan begitu seterusnya hingga makan malam. Belum lagi kalau kita makan cemilan diantara jam jam makan itu. Ibarat mesin, pencernaan kita butuh istirahat yang cukup.

Masih banyak manfaat lain bagi kesehatan organ tubuh kita.
 
3. Belajar sabar
Saat puasa, orang yang mudah marah dibiasakan untuk menahan amarahnya. Selain itu, kita harus besabar untuk bangun sahur dan menunggu waktu berbuka. Pikiran dan kata kata yang jelek yang biasa terlintas harus kita redam. Hubungan suami istri juga harus diatur. Hampir mustahil manusia bisa melakukannya tanpa adanya sarana khusus untk belajar sabar namun sangatlah mungkin tercapai jika kita serius.

4. Menurunkan berat badan

Untuk Menurunkan berat badan, kita tetap harus memperhatikan pola makan diluar hari puasa. Jangan karena tidak berpuasa lalu makan secara berlebihan. Makanlah secukupnya saja. Ini juga merupakan tantangan tersendiri bagi kita diluar hari puasa. Kalau sudah terbiasa menahannya, nafsu makan akan berkurang dengan sendirinya sampai dengan batas normal. Itu saya alami sendiri.

5. Dan bonus bagi orang yang berpuasa sunnah adalah pahala besar dari Allah Swt. Puasa memiliki nilai khusus yang tidak dimiliki oleh ibadah ibadah lainnya karena puasa adalah untuk Allah Swt bukan untuk dirinya sendiri.




Posted by
Panji Arbi

More

Shalat Jenazah

SHALAT JENAZAH


Kali ini kita akan membahas tentang shalat yang jarang kita lakukan tapi sebenarnya hukumnya FARDHU (kifayah). Ini adalah shalat jenazah atau shalat mayit. Meskipun shalat ini jarang dilakukan, tapi kita sebagai seorang muslim tetap harus mengetahuinya.

A.      Hukum Shalat Jenazah

Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah, karena adanya perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan: “Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menshalatinya, ternyata beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menshalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janji ini akan disertai dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka Nabi pun menshalatinya”. 

Tapi kewajiban menshalati jenazah itu akan gugur bila,

1. Si Jenazah adalah anak yang belum baligh. Nabi tidak menshalati putra beliau Ibrahim ketika wafatnya sebagaimana diberitakan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia dalam usia 18 bulan, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menshalatinya”
2. Si Jenazah mati syahid. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menshalati syuhada perang Uhud dan selain mereka. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mengabarkan: “Syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dan mereka dimakamkan dengan darah-darah mereka, juga tidak dishalati kecuali jenazah Hamzah”.

Kedua golongan di atas, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hal ini disyariatkan. Namun pensyariatannya tidaklah wajib. Kenapa kita katakan hal ini disyariatkan? Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula menshalati jenazah anak kecil seperti tersebut dalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah:
“Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata:
“Aku berhijrah bersamamu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya.

“Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut.

“Bagian yang diberikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untukmu,” jawab mereka.

A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya bertanya: “Harta apa ini?”

“Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.”

Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga) Ia dibopong ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.

“Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Ya,“ jawab mereka yang ditanya.

“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Nabi n mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu”.

                B. Tata Cara Shala Jenazah

Saat melaksanakan shalat jenazah, posisi imam itu juga ditentukan. Jika jenazahnya laki-laki, maka imam berdiri di samping kepala si jenazah. Jika jenazahnya perempuan, maka imam berdiri di samping pusar jenazah atau berada di tengah jenazah.
Berikut adalah cara melaksanakan shalat jenazah,

  1. Melakukan takbiratul ihram (takbir pertama). 
  2. Tanpa perlu membaca istiftah langsung berta’aawudz (أَعُوّْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) dan membaca basmalah. 
  3. Diikuti dengan bacaan Al-Fatihah. 
  4. Melakukan takbir kedua dan diikuti dengan ucapan shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal shalawat yang dibaca pada tasyahud akhir dalam shalat fardhu. 
  5. Melakukan takbir ketiga dan mendoakan si mayit dengan doa-doa yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.(*) 
  6. Selepas berdoa kemudian melakukan takbir terakhir (takbir keempat), berhenti sejenak, lalu salam ke arah kanan dengan satu kali salam.

(*) Di antara bentuk doa-doa tersebut adalah:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوبِ والْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّار, وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، ونَوِّرْ لَهُ فِيهِ

Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah dia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, isteri yang lebih baik dari isterinya. Masukkanlah dia ke dalam surga, lindungilah dari azab kubur dan azab neraka. Lapangkanlah baginya dalam kuburnya dan terangilah dia di dalamnya.” (HR. Muslim)

Jika yang dishalatkan itu mayit perempuan, orang yang shalat mengucapkan,

اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا

Yaitu dengan mengubah semua dhamir-nya menjadi dhamir muannats (kata ganti jenis perempuan).

Adapun bila yang dishalatkan itu anak kecil, doa yang dibaca yaitu,

اللّهُمَّ اجْعَلْهُ لِوَالِدَيْهِ فَرَطًا وَأَجْرًا وشَفِيعًا مُجَابًا‏

Ya Allah, jadikanlah dia sebagai simpanan, pahala, dan sebagai syafaat yang mustajab untuk kedua orang tuanya.” (HR. Al-Bukhari)

اللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِينَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُورَهُمَا، وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِينَ، وَاجْعَلْهُ فِي كَفَالَةِ إِبْرَاهِيمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الْجَحِيمِ‏

Ya Allah, perberatlah karenanya timbangan kebaikan kedua orang tuanya, perbanyaklah pahala kedua orang tuanya, dan kumpulkanlah dia bersama orang-orang shalih terdahulu dari kalangan orang yang beriman, masukkanlah dia dalam pengasuhan Ibrahim, dan dengan rahmat-Mu, peliharalah dia dari siksa neraka Jahim.”


Posted by
Panji Arbi

More

Shalat Dhuha

SHALAT DHUHA



Pastinya kita sudah familiar dengan shalat sunnah yang satu ini, mestinya bukan hanya karena sudah kelas 12 terus lagi giat-giatnya “tirakat”, tapi tentunya karena merupakan salah satu amalan sunnah Rasul kita. Iya kaan??
                Shalat Dhuha adalah salah satu shalat sunnah yang waktu pelaksanaannya ketika matahari telah terbit setinggi kira-kira satu tombak, dan berakhir ketika matahari berada diatas kita atau ketika dzuhur tiba.
                Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan shalat-shalat sunnah untuk menyempurnakan ibadah shalat wajib yang terkadang tidak dapat sempurna pahalanya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

"Sungguh, amalan hamba yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila shalat wajibnya kurang sedikit, maka Rabb 'Azza wa Jalla berfirman, 'Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)!' Lalu, dengannya disempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajibnya tersebut, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian." (Hr. at-Tirmidzi)

Di antara perkara yang disyariatkan adalah shalat dhuha.

A. Keutamaan Shalat Dhuha

Keutamaan pertama, mencukupkan sedekah sebanyak persendian manusia, yaitu tiga ratus enam puluh persendian, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

Dari Abu Dzar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau telah bersabda, "Setiap hari bagi setiap persendian dari salah seorang di antara kalian terdapat kewajiban untuk bersedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar makruf nahi munkar adalah sedekah. Semua itu tercukupkan dengan dua rakaat shalat yang dilakukan di waktu dhuha." (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Shalat ad-Dhuha, no. 720)

Hal ini lebih diperjelas dengan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi,

فِي الْإِنْسَانِ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنْ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ

"'Dalam diri manusia ada tiga ratus enam puluh persendian, lalu dari setiap sendinya diwajibkan untuk bersedekah.' Mereka berkata, 'Siapa yang mampu demikian, wahai Nabi Allah?' Beliau menjawab, 'Memendam riak yang ada di mesjid dan menghilangkan sesuatu (gangguan) dari jalan. Apabila tidak mendapatkannya, maka dua rakaat shalat dhuha mencukupkanmu.'" (Hr. Abu Daud, no. 5242; dinilai shahih oleh al-Albani dalam kitab Irwa al-Ghalil: 2/213 dan at-Ta'liq ar-Raghib: 1/235)

Keutamaan kedua, Allah menjaga orang yang melaksanakan empat rakaat shalat dhuha pada hari tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

عن عقبة بن عامر الجهني رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن الله عز و جل يقول يا ابن آدم اكفني أول النهار بأربع ركعات أكفك بهن آخر يومك

Dari 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani radhiallahu 'anhu, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa Allah berfirman, Wahai Bani Adam, shalatlah untuk-Ku di awal siang hari sebanyak empat rakaat, niscaya Aku menjagamu di sisa hari tersebut." (Hr. at-Tirmidzi, Kitab Shalat, Bab Ma Ja`a fi Shalat ad-Dhuha, no. 475; Abu Isa berkata, "Hadits hasan gharib;" hadits ini dinilai shahih oleh Ahmad Syakir dalam tahqiq beliau atas kitab at-Tirmidzi, sert al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi: 1/147)

Keutamaan ketiga, shalat dhuha adalah shalat al-awwabin (orang yang banyak bertaubat kepada Allah). Hal ini disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berbunyi,
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ

"Tidaklah menjaga shalat dhuha, kecuali orang yang banyak bertaubat kepada Allah." (Hr. al-Hakim dalam al-Mustadrak: 1/314; dinilai sebagai hadits hasan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1994, lihat: 2/324) 

B. Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha

Waktu shalat dhuha dimulai dari terbitnya matahari hingga menjelang matahari tergelincir (zawal). Syekh Ibnu Utsaimin merinci waktu ini ketika menjelaskan awal dan akhir waktu dhuha. Beliau menyatakan bahwa waktu dhuha berawal setelah matahari terbit seukuran tombak, yaitu sekitar semeter. Dalam hitungan jam yang ma'ruf adalah sekitar 12 menit (setelah terbitnyamatahari) dan jadikan saja sekitar seperempat jam, karena lebih hati-hati.

Apabila telah berlalu seperempat jam dari terbit matahari, maka hilanglah waktu terlarang dan telah masuklah waktu shalat dhuha. Sedangkan akhir waktunya adalah sekitar sepuluh menit sebelum tergelincirnya matahari." [6]
Adapun dasar awal waktu dhuha adalah hadits Abu Dzar yang berbunyi,

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ

Dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa Allah berfirman, "Wahai Bani Adam, shalatlah empat rakaat untuk-Ku di awal siang hari, niscaya aku menjagamu di sisa hari tersebut."

Waktu dhuha berakhir dengan tergelincirnya matahari yang menjadi awal waktu zuhur. Adapun jeda sebelumnya diberlakukan karena adanya larangan shalat sebelum tergelincirnya matahari.
Oleh karena itu, Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan, "Kalau begitu, waktu shalat dhuha dimulai setelah keluar dari waktu larangan (untuk shalat) di awal siang hari (pagi hari) sampai adanya larangan di tengah hari." 
C. Waktu Utama

Adapun waktu utama untuk melaksanakan shalat dhuha adalah di akhir waktunya. Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan, "Melaksanakannya di akhir waktu adalah lebih utama."

Hal ini dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

"Sesungguhnya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum melakukan shalat dhuha, lalu beliau berkata, 'Apakah mereka belum mengetahui bahwa shalat pada selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu bersabda, 'Shalat al-awwabin (hendaklah dilakukan) ketika anak unta kepanasan.'" (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Shalat al-Awwabina hina Tarmidhu al-Fishal, no. 748)

D. Pelaksanaan dan Tata Cara

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk melakukan shalat dhuha sebanyak dua, empat , enam, atau delapan rakaat, atau lebih, tanpa ada batasan tertentu. Inilah yang dirajihkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin dalam pernyataan beliau, "Yang benar adalah bahwasanya tidak ada batas untuk banyaknya, karena 'Aisyah berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ الله

'Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu melakukan shalat dhuha sebanyak empat rakaat, dan beliau menambahnya sebanyak yang beliau inginkan.' (Hr. Muslim, Kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbaab Shalat Dhuha, no. 719)
Jumlah rakaat shalat dhuha tidak ada pembatasannya. Seandainya seorang sholat dari terbit matahari setombak sampai menjelang tergelincir matahari, misalnya empat puluh rakaat, maka ini semua masuk dalam shalat dhuha."

Ini semua dilakukan dengan dua rakaat-dua rakaat, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى

"Shalat malam dan siang adalah dua rakaat-dua rakaat." (Hr. an-Nasa'i dalam Kitab Qiyam al-Lail wa Tathawu' an-Nahar, Bab Kaifa Shalat al-Lail: 3/227, dan Ibnu Majah dalam Kitab Iqamat ash-Shalat wa as-Sunnah fiha, Bab Ma Ja`a fi Shalat al-Lail wa an-Nahar Matsna Matsna, no. 1322; diniai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah: 1/221)

Berikut adalah doa yang dibaca setelah melaksanakan shalat dhuha :

اللَّهُمَّ إنَّ الضَّحَاءَ ضَحَاؤُكَ ، وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ ، وَالْجَمَالَ جَمَالُك ، وَالْقُوَّةَ قُوَّتُك، وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُك، وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُك اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ ، وَإِنْ كَانَ مُعَسَّرًا فَيَسِّرْهُ ، وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ ، وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضَحَائِك وَبِهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِك آتِنِي مَا آتَيْت عِبَادَك الصَّالِحِينَ

Artinya:
“Ya Allah, sesungguhnya waktu dluhaa adalah waktu dluhaa-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, kebagusan adalah kebagusan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, kekuasaan adalah kekuasaan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya Allah, apabila rizqi kami di atas langit, turunkanlah, bila dalam bumi, keluarkanlah, bila sukar, mudahkanlah, bila haram, sucikanlah, bila jauh, dekatkanlah, dengan hak waktu dluhaa, keagungan, kebagusan, kekuatan dan kekuasaan-Mu. Berilah kepada kami apa-apa yang telah Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih-shalih.”

 

Posted by
Panji Arbi

More

ZAHIR DAN TAKWIL

PEMBAHASAN

ZAHIR DAN TAKWIL


A.    ZAHIR DAN TAKWIL
1.      Pengertian Zahir dan Takwil
Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya menunjukkan kepada suatu arti tanpa memerlukan keterangan lain di luar lafadz itu.
Contoh Zahir:
Firman Allah SWT:
“Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah /2: 275)
Ayat tersebut secara zahir menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba tanpa memerlukan keterangan atau penjelasan lain.

Sedangkan takwil secara bahasa berarti berbelok atau berpaling apabila kembali. Menurut istilah adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.
Contoh Takwil : seperti lafadz يَدٌ (tangan), lafadz ini bisa diartikan kepada tangan atau makna yang lain yaitu kekuasaan.
Agar lafadz tersebut menjadi jelas, maka masih diperlukan keterangan lain, sehingga tidak menyimpang dari makna zahirnya.

2.      Masalah yang dapat ditakwil
Para Ulama’ sepakat bahwa masalah-masalah yang bersifat furu’ (cabang) dapat menerima takwil. Sedangkan masalah-masalah ushul (pokok) atau aqidah terdapat perbedaan pendapat.
a)  Golongan Musyabbihah berpendapat bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah tidak perlu ditakwilkan karena sudah jelas dan berlaku menurut zahir, seperti mengartikan tangan Allah SWT disamakan dengan tangan manusia / makhluk-Nya.
b)  Golongan salaf seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah-masalah ushul atau aqidah dapat ditakwilkan, tapi takwilnya diserahkan kepada Allah SWT. jadi, menurut pendapat ini Allah SWT memang bertangan tetapi tangan Allah SWT itu berbeda dengan tangan makhluk-Nya, karena hakekatnya yang paling tahu adalah Allah.
c)  Golongan Khalaf berpendapat bahwa boleh mentakwilkan dan pentakwilannya dilakukan oleh manusia sendiri, seperti mengartikan “tangan Allah” ditakwilkan dengan “kekuasaan Allah”, “mata Allah” ditakwilkan dengan “pengawasan Allah”, dan “Allah SWT bersemayam di Arsy” ditakwilkan dengan “Allah SWT berkuasa di Arsy”, dan sebagainya.
3.      Syarat-syarat Takwil
Takwil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)      Takwil harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan sastra Arab.
b)      Takwil harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’
c)      Takwil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang takwilnya itu.
d)     Jika takwil berdasarkan qiyas haruslah memakai qiyas yang jelas dan kuat.
4.      Kaidah berhubungan dengan Takwil
الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ اتِّفَاقًا
Artinya : “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki takwil berdasarkan konsensus.”
الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ
Artinya : “Masalah ushuluddin (akidah) tidak dapat menerima takwil.”

adapted from : http://detik-ilmu.blogspot.com

Posted by
Panji Arbi

More

MURADIF DAN MUSYTARAK

PEMBAHASAN 
MURADHIF DAN MUSYTARAK

1.    Muradhif

 Lafal Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna

Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para Jumhur ulama sebagai beriku:

ايقاع كل من المرادفين مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه طالع شرعي

                  Artinya:    Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’.

Al-Qu’ran semenjak di turunkanNya hingga datangnya hari Akhir senantiasa terjaga sebagaimana pertama diturunkan-nya, tidak pernah ada ralat, tidak perlu dikritisi, tidak memerlukan edisi revisi, ataupun pengurangan kosakata, begitu sangat sempurna, Dia-lah Allah yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa, yang telah menurunkan-nya juga kepada Nabinya Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam melalui delegasi terpercanya Malaikat Jibril Alaihi-Salam. Maka karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Namun dalam lafal ibadah seperti takbir shalat, Malikiyah berpendapat dan menyatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali kaliamat “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya kalimat ”Allahul A’djom”,  “Allahul Ajal” dan sebagainya.

Hukum Muradhif

Menurut jumhur ulama meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan bahwa diperbolehkan asal masih satu bahasa. Tentang lafal Qur’an tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa kita harus membaca lafal-lafal itu sendiri.

2.    Musytarak

Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan اشترك القوم yang berarti “kaum itu bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:

اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر دلالة على السوأ عند اهل تلك اللغ

                  Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”



Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:

لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل

                  Artinya: Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”

Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء  yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “"يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنة  dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.

a.    Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak

Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa arab sangat banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :

1.    Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.

2.    Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan majaz.

3.    Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد)) antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.

b.    Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak

Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :

a.    Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.

b.    Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.

c.    Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.

c.    Contoh-contoh Lafadz Musytarak

      Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

                  Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).

Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:



وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

                  Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.

Lafadz quru’ dalam pemakain bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidh. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).

Dalam surat Al-Baqarah ayat 229:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

                  Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali ikatan secara mutlaq”. Seperti dalam hal lain. “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadz الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadz الصلاة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

                  Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”


Lafadz الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.



  1. Kesimpulan dan Penutup



            Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukan dua muradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’.
            Sedangkan Musytarak lafal yang mempunyai dua makna atau lebih dan jumhur ulama memperbolehkan penggunaan musyatrak menurut arti yang dikehendaki atau berbagai makna sesuai proporsinya.

            Penjelasan mengenai kaidah-kaidah tersebut sangat diperlukan guna menggali dan menetapkan suatu hukum yang bersumber dari nash-nash.
            Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an.

 adapted from : http://saidpane.blogspot.com

Posted by
Panji Arbi

More
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / AROUND

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger