PEMBAHASAN
‘AMM DAN KHASH
A.
‘Am (umum)
a.
Pengertian ‘am
Lafadz al-‘Am, berarti “umum”, ialah suatu lafadz yang menunjukan satu makna yang mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Atau juga lafadz yang menunjukan dimana ditempatkan secara lughowi dan semuanya
itu berlaku untuk semua ifradnya. Para ulama Usul Fiqih memberikan definisi ‘amm
antara lain sebagai berikut:
1. Menurut ulama Hanafiyah adalah setiap lafadz yang
mencakup banyak, baik secara lafadz maupu nmakna.(Al-Bazdawi:I:33)
2. Menurut ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-Ghazali
adalah satu lafadz yang dari satu segi
menunjukan dua makna atau lebih.
3. Menurut Albazdawi adalah lafadz yang mencakup semua
yang cocok untuk lafadz tersebut dengan
satu kata.
b. Macam-macam
bentuk kata ‘am
Untuk
menunjukkan baha kata itu mencakup sesuatu yang tidak terbatas (‘am), biasanya digunakan kata-kata
sebagai berikut:
ü كُلٌّ, جَمِيْعٌ,
كافّة, مَعْشَرٌ (semuanya), misalnya :
...ۗالْمَوْتِ ذَائِقَةُ نَفْسٍ كُلُّ
Artinya : Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. (QS. Ali Imron/3 : 185)
...وَالْإِنْسِ
الْجِنِّ مَعْشَرَ يَا
Arinya : Wahai
golongan jin dan manusia!... (QS. Al
An’am/6: 130)
ü Isim Mufrod yang ditakrifkan dengan alif lam jinsiyah, misalnya :
الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللهُ
وَأَحَلَّ
Artinya : “... Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’...” (QS. Al Baqarah/2: 275)
Kata al-Bai’u (jual beli) dan ar-Riba’ (riba), menunjukkan makna umum
karena berupa isim mufrod ma’rifat dengan
“al-jinsiyyah”.
ü Jama’ yang ditakrifkan dengan idafah, misalnya :
ۖأَوْلَادِكُمْ فِي اللَّهُ يُوصِيكُمُ
Artinya
: Allah
mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. (QS. An Nisa’/4: 11)
Kata “aulaad” adalah bentuk jama’ yang di-idhofah-kan dengan kata “kum”, sehingga menjadi ma’rifat. Oleh
karena itu kata tersebut dikategorikan kata ‘am.
ü Isim-isim maushul seperti الذي, الذين, التي, dll,
misalnya :
ۖعَشْرًا وَشْهُرٍأَ أَرْبَعَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ
أَزْوَاجًا وَيَذَرُونَ مِنْكُمْ يُتَوَفَّوْنَ
وَالَّذِينَ
Artinya
: Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.
(QS. Al
Baqarah/2: 234)
ü Isim-isim syarat seperti ”man” (barang siapa), “maa”(apa
saja), “ayyuma” (yang mana saja),
misalnya :
ۚكَثِيرَةً
أَضْعَافًا لَهُ فَيُضَاعِفَهُ حَسَنًا قَرْضًا اللَّهَ يُقْرِضُ الَّذِي ذَا مَنْ
Artinya
: Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (QS.
Al Baqarah/2: 245)
c. Macam-macam ‘Amm
Ditetapkan dengan
ketetapan nash bahwa ‘amm itu terbagi menjadi tiga:
Pertama adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi’
umum. Yaitu ‘amm yang didampingi oleh qarinah (indikasi), menafikan sasaran
yang ditakhsiskan, seperti ‘amm
yang terdapat pada firman Allah Swt :
وما من دابة فى الارض الا على الله رزقها
“Dan tidak satupun
binatang yang melata dibumi ini
melainkan Allah memberi rizqinya.” (QS.11:6).
وجعلنامن اماء كل شيء حي
“Daripada air kami
jadikan segala sesuatu yang hidup” (QS.21:30)
Pada kedua ayat ini
orang menetapkan bahwa sudah menjadi sunnatulloh ada ‘amm yang tidak ditakhsiskan dan tidak pula dipertukarkan
letaknya. Pada kedua ayat ini terdapat ‘amm
qathi’ menunjuk kepada umum. Tidak mengandung hal yang dimaksud khusus
dengannya.
Kedua adalah ‘amm yang dimaksud secara qathi
khusus.Yaitu apa yang didampingi dengan qarinah,
pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu. Seperti firman Allah yang
berbunyi:
ولله على الناس حج البيت
“Mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS.3:97).
Manusia pada nash ini
adalah umum. Dimaksud dengannya itu khusus para mukallaf. Menurut akal, tidak
termasuk anak-anak dan orang gila.
Ketiga adalah ‘amm makhsus. Yaitu ‘amm
mutlak yang tidak didampingi oleh qarinah,
meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya
kebanyakan nash yang terdapat padanya sighat
umum. Terlepas dari qarinah-qarinah
lafdziah atau aqliah atau arfiah yang menyatakan umum, sebelum dikemukakan dalil
yang mentakhsiskannya. Misalnya, perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
d. Dilalah Lafadz ‘Amm
Para ulama sepakat
bahwa lafadz ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan
adanya takhsis adalah qath’i dilalah.
Begitu juga lafadz ‘amm yang disertai
qarinah yang menunjukan bahwa yang dimaksudkannya itu kusus, mempunyai dilalah
yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah,
dilalah ‘amm itu qath’i, yang
dimaksud qat’i menurut Hanafiyah ialah tidak mencakup suatu kandungan, yang
menimbulkan suatu dalil.
Namun, bukan berarti
tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan
ke-qath’i-an lafadz ‘amm, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila
pada awalnya sudah dimasuki takhsis,maka dilalahnya dzanni.
Mereka
beralasan,”sesungguhnya suatu lafadz apabila dipasangkan (di-wadha’-kan) pada
suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang
mengubahnya.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah,Syafi’iyyah, dan Hanbaliyah) dilalah ‘amm adalah dzanni. Mereka beralasan kalau
dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dahir
yang mempunyai kemungkinan di taksis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm
banyak sekali. Selama kemungkinan tetap
ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i.
Sehubungan dengan hal ini, ibnu Abbas berkata : Dalam Al-qur’an semua lafadz umum itu ada
taksisnya, kecuali firman Alloh Swt : ”Dan Allah Maha Mengetahui atas segala
sesuatu”.
Oleh karena itu mereka
mengeluarkan satu kaidah yang berbunyi:
مامن عام الا وقد خصص
“Tidaklah ada (lafadz)
yang ‘umum’ kecuali sudah di taksis”.
Ulama Hanafiyah
membantah alasan jumhur tersebut, menurutnya kemungkinan itu tidak dapat
dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara
(mutakallimin), bukan dari dalil.
B. Khas (Khusus)
a.
Pengertian Khash
Khash merupakan lawan kata dari ‘am. Oleh karena itu, jika pengertian ‘am
sudah bisa difahami maka khash juga
secara langsung sudah bisa difahami. Karena banyak para penulis yang tidak
menguraikan ma’na khash secara
defenitif.
Menurut Prof.
Dr. Abdul Wahab Khallaf, ia mendefinisikan lafal Khash, sebagai berikut:
“Lafadz
Khash ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa
orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa
satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum,
golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau
tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.”
Sedangkan defenisi menurut Al-‘Amidi ialah, sebagai berikut:
"هو
اللفظ الواحد الذي لا يصلح لاشتراك كثير ين فيه"
Satu lafadz yang tidak patut digunakan
bersama oleh jumlah yang banyak.
Definisi yang berbeda
yang dirumuskan al-Khudhari Beik:
"هو اللفظ الذي وضع لمعنى واحد على سبيل
الانفراد"
Lafadz yang dari segi
kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
Menurut defenisi yang dirumuskan oleh
al-khudhari itu sama dengan murod pengertian dari Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf
tadi, yakni ditentukan untuk satu satuan perorangan, kelompok , bahkan yang
tidak terbatas.
b.
Macam-macam bentuk kata Khas
Khas ialah kata yang digunakan untuk menunjukkan
makna satuan-satuan tertentu. Khas merupakan
kebalikan dari ‘am. Kata-katayang
masuk dalam khas misalnya :
ü Isim nakiroh, seperti bentuk tunggal dari kata “rajulun”, seorang laki-laki, dalam
bentuk tasniyah (dua) “rajulaani”, dua
orang laki-laki, dan dalam bentuk jamak “rijaalun”,
beberapa orang laki-laki saja.
ü ‘Adat (bilangan), misalnya satu, dua,
tiga, empat, lima, dan seterusnya, atau seseorang yang menunjukkan nama pribadi
seseorang.
ü Kata yang
mengandung arti musytarak (artinya
tidak hanya satu), dan yang mengandung makna majas dan hakikat. Sebagian ulama
berpendapat, kata jenis ini termasuk pulakata yang bermakna khas, karena yang dimaksudkan tetap satu
arti. Misalnya, kata qura’ (suci/haid),
kata “al-Lamsu” (memegang atau
bersetubuh).
c.
Ketentuan Lafadz Khash
1.
Secara umum lafadz Khash
hukumnya ialah jika ada dalam nash syara’,
yang menunjukkan secara qaht’i terhadap maknanya maka hukumnya dari lafadz
tersebut ialah Qath’i (pasti), bukan dugaan.
2.
Jika dari lafadz khash
terdapat dalil yang menghendaki (pemahaman lain) terhadap arti lain, maka
dialihkan terhadap arti yang dikehendaki oleh dalil itu.
3.
Jika dalam suatu kasus
hukumnya khash dan ditemukan ‘am dalam kasus lain, maka lafadz khash membatasi
pemberlakuan ‘am.
4.
Bila ditemukan perbenturan
antara dalil khash dengan dalil ‘am, maka dalil yang khash mentakhshishkan yang
‘am, atau memberi penjelasan terhadap yang ‘am.
d.
e.
Contoh Khash dan kedudukan hukumnya
Selama dalam
nas syarak tidak ada dalil yang memalingkan dari kata yang mengandung makna khas, maka dalil itu menunjukkan pada
dalalah qath’iyyah (dalil yang
pasti). Contohnya:
ۗرَجَعْتُمْ إِذَا وَسَبْعَةٍ الْحَجِّ فِي أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ يَجِدْ لَمْ فَمَنْ
Artinya
:
“...Tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali...”
(QS. Al
Baqarah/2: 196)
Kata
“tsalaatsah” adalah khas karena mananya sudah pasti, tidak
dapat kurang dan tidak dapat lebih yaitu tiga (hari), sehingga maknanya
bersifat qath’iyyah dan hukumnya pun
bersifat qath’i (pasti).